ABSTRAK
Upaya peningkatan produksi, yang merupakan target utama pembangunan subsektor perikanan dapat dicapai antara lain melalui perbaikan teknik budi daya dan penyediaan benih yang cukup dan berkualitas. Hibridisasi atau teknik kawin silang, yang bertujuan untuk memperbaiki laju pertumbuhan, menunda kematangan gonad, dan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan benih unggul. Di Indonesia, teknik hibridisasi telah berhasil meningkatkan laju pertumbuhan antara lainterhadap ikan-ikan Cyprinid, cichlid, clariid, dan pangasiid.
PENDAHULUAN
Peningkatan produksi merupakan target utama pembangunan subsektor perikanan. Meningkatkan produksi dengan perbaikan teknik budi daya saja tidak akan berdaya guna penuh tanpa didukung oleh ketersediaan benih yang cukup dan unggul. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyediakan benih-benih unggul tersebut adalah dengan jalan hibridisasi.
Hibridisasi merupakan inseminasi (perkawinan yang menghasilkan pembuahan) heterospesifik (antara spesies yang berbeda) yang dapat menghasilkan hibrida dari induk yang digunakan (Gustiano, 1995). Kegiatan tersebut harus dapat menjawab pertanyaan mengenai jenis hibrida yang diperoleh berdasarkan ploidi (set kromosom pada nucleus suatu organisme) induk yang digunakan sebagai masukan bahan genetik, apakah hibrida tersebut merupakan gamet haploid, diploid, atau polispermi (penetrasi dua atau lebih sel sperma terhadap satu sel telur pada saat yang sama ketika terjadi pembuahan) (Chevassus, 1983; King & William, 1985). Selanjutnya bagaimana mengenai proses pembuahannya (Karyogami), apakah jenis genom yang diperoleh merupakan hibrida (hasil persilangan) atau hasil parthenogenesis (terbentuknya individu baru dari sel telur tanpa mengalami proses pembuahan).
Hibridisasi mempunyai tujuan untuk memperbaiki kualitas benih, seperti perbaikan terhadap laju pertumbuhan, penundaan kematangan gonad, agar tercapai pertumbuhan maksimal serta meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan lingkungan yang kurang baik. Perbaikan tersebut diperoleh karena adanya sifat heterosis vigour yang muncul pada hibrida yang dihasilkan (Gustiano, 1991; Gustiano, 1995). Menurut Hickling (1968), hibridisasi pada ikan dapat dibedakan menjadi hibridisasi intraspesifik (spesies yang sama), interspesifik (antar spesies, genus sama), dan intergenerik (genus berbeda).
Di Indonesia, hibridisasi intraspesifik baik antara ikan satu ras maupun dari ras yang berbeda dan hibridisasi interspesifik telah banyak dilakukan dan dapat menghasilkan hibrida unggul (Suseno et al., 1983; Suseno et al., 1986; Suseno, 1983; Sumantadinata & Subarja, 1979). Persilangan interspesifik pada ikan dapat diharapkan untuk menghasilkan hibrida dengan karakter-karakter yang berharga untuk kepentingan budi daya (steril, populasi, kelamin seragam/monosex, heterosis, dan lain-lain). Hibridisasi intraspesifik yang dapat dikemukakan adalah hasil hibridisasi antara ikan mas ras Punten dengan ras impor yang berasal dari Taiwan serta ras Majalaya dengan ras Sinyonya yang dilakukan oleh Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor, dapat menunjukkan perolehan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan ras asalnya (Gustiano, 1991). Kesulitan yang dihadapi dalam program penyediaan hibrida unggul adalah tidak tersedianya induk-induk yang memiliki tingkat kemurnian yang cukup tinggi, sehingga sifat heterosis yang diharapkan tidak muncul secara optimal pada hibrida dan memiliki variasi yang besar.
Di awal tahun 1980-an, untuk ikan mas ada tiga ras yang mempunyai kadar kemurnian tinggi, yaitu ikan mas ras Punten, ras Sinyonya, dan ras Majalaya. Namun saat ini dari ketiga ras tersebut sulit untuk didapatkan induk yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya. Kondisi ini merupakan hambatan yang cukup serius. Kesalahan dalam sistem pembenihan uang dilakukan oleh masyarakat dapat menghilangkan upaya para pakar yang telah bertahun-tahun melakukan penelitian untuk menghasilkan ras dengan karakter tertentu (Sudarto, 2004). Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu kiranya dilakukan upaya hibridisasi pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu hibridisasi interspesifik (antar spesies) atau intergenerik (antar genus) (Sumantadinata & Subarja, 1979; Suseno, 1983; Gustiano et al., 1988; Desfajarni et al., 1989; Yakub et al., 1990; Sumantadinata, 1992). Hibridisasi yang demikian jarang terjadi secara alami. Namun dengan adanya teknik pemijahan secara buatan, hibridisasi tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Keberhasilan suatu pembuahan pada ikan dutentukan oleh keberhasilan penetrasi sperma terhadap mikropil telur. Oleh karena itu, informasi mengenai diameter sperma dan mikropil telur dari ikan yang digunakan sangat diperlukan untuk mendukung hibridisasi ini, selain pemijahan secara langsung. Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa hasil-hasil persilangan interspesifik dan intergenerik yang telah dilakukan pada berbagai ikan air tawar di Indonesia.
Ikan-ikan Cyprinid
Untuk kegiatan hibridisasi intergenerik pada ikan cyprinid, BRPBAT pada tahun 1987 telah melakukannya pada ikan mas betina dengan pejantan tawes dan nilem. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa hibridisasi tersebut dapat dilakukan dengan baik (Gustiano et al., 1988). Penggunaan jantan tawes memberikan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan dengan jantan yang berasal dari ikan nilem. Hibrida tersebut dapat tumbuh sebagaimana ikan normal lainnya. Sedangkan pengujian terhadap pertumbuhan dalam kondisi laboratorium memperlihatkan bahwa hibrida yang diperoleh mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan ikan asalnya (Gustiano & Dharma, 194). Hal yang sama dilaporkan juga oleh Desjafarni et al. (1989) dan Yakub et al. (1990).
Ikan-ikan Cichlid
Persilangan antara nila jantan (Oreochromis niloticus) dengan mujair betina (Tilapia mosambicus) menghasilkan hibrida yang memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan hibrida ikan nila betina dengan mujair jantan dan keturunan aslinya. Sumantadinata & Subarja (1979) melaporkan bahwa pada minggu ke-16, hibrid antara ikan nila jantan dengan ikan mujair betina telah mencapai bobot (dalam rata-rata) 70 gram, hibrid mujair jantan dengan nila betina mencapai 62 gram, nila mencapai 50 gram, sedangkan mujair hanya mencapai 30 gram. Suseno (1983) melaporkan bahwa pada minggu ke-6, hibrid antara nila jantan dengan mujair betina mampu mencapai bobot (dalam rata-rata) 47 gram; nila mencapai 43 gram; hibrid kebalikannya 36,6 gram; sedangkan mujair terendah hanya 29,4 gram. Hasil yang diperoleh juga memperlihatkan bahwa persentase jumlah jantan yang diperoleh lebih banyak daripada keturunan kedua induknya (70 % jantan untuk hibrid nila jantan dan mujair betina).
Ikan-ikan Clariid
Dari kombinasi perkawinan antara spesies pada ikan lele asal Indonesia (Clarias batrachus, C. meladerma, C. nieuhofii, dan C. teijsmanni) dan lele Afrika (C. gariepinus), hanya C. meladerma x C. gariepinus, C. meladerma x C. nieuhofii, dan C. meladerma x C. teijsmanni yang dapat menghasilkan keturunan (Lenormand et al., 1999). Kegagalan pada banyak kombinasi persilangan di atas disebabkan oleh ukuran mikropil yang lebih kecil pada telur dibandingkan dengan diameter sperma dari spesies ikan jantan yang digunakan (Richter et al., 1995; Lenormand et al., 1999). Selanjutnya Lenormand et al., (1999) melaporkan bahwa ketiga hibrida interspesifik yang dihasilkan memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tetuanya untuk laju pertumbuhan spesifik.
Ikan-ikan Pangasiid
Bertolak belakang dengan banyaknya pustaka hibridisasi pada cichlids, salmonids, cyprinids, dan clariid di Indonesia. Laporan pada persilangan ikan pangasiid masih langka. Gustiano (2004) melaporkan hasil analisis biometrik dari persilangan ikan Pangasius djambal x P. hypophthalmus, yang menunjukkan bahwa hibrida yang diperoleh memiliki karakter antara (intermediate) dari kedua tetua yang digunakan. Informasi ini sangat berharga untuk pemantauan pengendalian penyebaran hibrida di perairan umum bagi upaya pencegahan dampak negatif yang dapat ditimbulkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kegiatan introduksi spesies ataupun ras baru dalam suatu perairan umum dapat mengakibatkan hilangnya keseimbangan ekosistem atau musnahnya populasi spesies lain penghuni asli perairan tersebut, yang disebabkan oleh sifat superior sang spesies baru.
Pengujian terhadap pertumbuhan hibrida ikan pangasiid juga dilakukan oleh Utami et al. (2005) yang membandingkan pertumbuhan fingerling 1) hibrida Pangasius hypophthalmus betina dengan Pangasius djambal jantan, 2) hibrida Pangasius djambal betina dengan Pangasius hypophthalmus jantan, 3) Pangasius hypophthalmus, dan 4) Pangasius djambal yang masing-masing berumur satu bulan. Penelitian berdurasi 6 minggu pada media kantong jaring tersebut melaporkan bahwa bobot tertinggi dicapai oleh kelompok 2 (bobot akhir 36,53 mg), diikuti kelompok 1 (26,57 mg). kelompok 3 (22,20 mg), dan terendah kelompok 4 (hanya 7,71 mg). kristanto et al. (2005) melaporkan bahwa dengan bobot awal sama, selama masa pemeliharaan 8 bulan, hibrida antara Pangasius hypophthalmus betina dengan Pangasius djambal jantan memiliki laju pertumbuhan spesifik (LPS) tertinggi (0,82 %/hari); hibrida antara Pangasius hypophthalmus jantan dengan Pangasius djambal/betina memiliki LPS 0,81 %/hari; Pangasius hypophthalmus 0,79 %/hari; sedangkan Pangasius djambal terendah hanya 0,76 %/hari.
PENUTUP
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, sangat diharapkan adanya penelitian-penelitian penunjang seperti ketahanan terhadap penyakit dan lingkungan alami atau sistem budi daya yang digunakan untuk mendukung kriteria keunggulan hibrida yang pernah diperoleh untuk keperluan budi daya. Sedangkan dari segi genetis perlu dilakukan pengendalian sejak dini guna mencegah adanya erosi genetik pada plasma nutfah yang ada. Penelitian genetik pun sangat diperlukan untuk mengkaji lebih jauh apa yang telah diperoleh pada penelitian-penelitian hibridisasi. Selain hal-hal di atas, karakterisasi dari genom-genom perlu diidentifikasi dan dipertimbangkan pengamatannya terhadap morfologi, fisiologi, biokomia, dan kariologi. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi suatu keberhasilan persilangan untuk melihat sifat heterosis atau hybrid vigour yang muncul.
Indonesia sangat kaya dengan plasma nutfah ikannya, patut disayangkan apabila potensi ini tidak dimanfaatkan secara optimal. Hibridisasi pada tingkatan yang lebih tinggi merupakan salah satu rintisan yang dapat dilakukan, dan merupakan jalan keluar untuk menghasilkan benih unggul secara pintas tanpa melalui program pemurnian yang membutuhkan waktu relatif lama. Selain itu tingkat kemurnian jenis asal yang digunakan akan lebih terjaga karena perkawinan secara alami (tanpa peran serta manusia) tidak dapat terjadi pada ikan tersebut.
No comments:
Post a Comment