Saturday, 3 November 2012

Manfaat Hutan Mangrove Pada Ekosistem Pesisir (Studi Kasus Kalimantan Barat)

ABSTRAK
Hutan mangrove memiliki potensi untuk meningkatkan aktivitas pembangunan khususnya pengembangan usaha tambak. Fungsi dari ekosistem hutan mangrove dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi fisik, biologik, dan ekonomi. Dari hasil studi kasus pada kawasan mangrove pada tambak di Kecamatan Daung Kabupaten Pontianak menunjukkan hasil peubah kualitas air yang cukup baik untuk pengembangan budi daya udang.

PENDAHULUAN
Umumnya mangrove di Indonesia ditemukan di seluruh kepulauan di Indonesia. Hutan mangrove terluas terdapat di Irian Jaya (1.350.600 ha), Kalimantan (978.200 ha) dan Sumatera (673.300 ha) (Rafindal, 2002). Di Provinsi Kalimantan Barat luas ekosistem mangrove yang tercatat pada tahun 1991 diperkirakan 40.000 ha (Direktorat Jenderal Perikanan dalam Dahuri et al., 1996). Dari seluruh luasan tersebut yang potensial untuk tambak 26.704 ha, dan yang telah dimanfaatkan sekitar 3.061 ha (11,46 % dari lahan potensial) (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat, 2002). Hingga tahun 1999 hutan mangrove ini menjadi seluas 90.000 ha tersebar di beberapa daerah sepanjang pantai yang mengandung lumpur dan daerah payau, antara lain terdapat di muara sungai Duri, Pantai Singkawang, dan Pemangkat, delta Sungai Kapuas bagian selatan, muara sungai Ambawang, Pulau Padang Tikar, Pulau Maya, daerah muara sungai Kualan serta Pantai Ketapang. Berdasarkan data tersebut maka daerah Kalimantan Barat khususnya masih cukup luas hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan (Ramdiana, 1999).
Masih besarnya potensi mangrove yang tersedia, memungkinkan untuk meningkatkan aktivitas pembangunan khususnya pengembangan usaha tambak. Walaupun demikian, dalam memanfaatkan potensi tersebut harus rasional dan berpegang pada asas ramah lingkungan sehingga kelestarian ekosistem ini dapat terjaga.
Kawasan Kubu, Kabupaten Pontianak memiliki potensi perikanan, khususnya pembesaran udang yang belum diolah secara optimal. Wilayah tersebut memiliki lebih dari 9.600 ha hutan mangrove yang didominasi oleh vegetasi hutan bakau (Rhizopora apiculata), sehingga sangat menunjang untuk daerah pertambakan. Pohon bakau termasuk tanaman tingkat tinggi yang mampu memanfaatkan nutrisi tanah dengan cara absorbsi melalui akar-akarnya dan menggunakannya dalam proses fotosintesis untuk mengubah zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik. Selain itu, jatuhan daun, ranting, kulit, batang, bunga, buah atau biji yang biasa disebut serasah (litter fall) pohon bakau yang belum mengalami dekomposisi sempurna akan menghasilkan bahan organik (detrirus); sedangkan serasah yang telah mengalami dekomposisi sempurna, akan memberikan masukan unsur hara bagi pertumbuhan organisme autotrof, seperti fitoplankton yang merupakan pakan alami bagi udang sekaligus penyuplai O2 di dalam perairan. Mencermati potensi yang ada, maka masyarakat di daerah setempat memilih untuk melakukan pengembangan usaha pertambakan udang windu dengan pemanfaatan pohon bakau.
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu komoditas laut yang sangat potensial, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi.menurut Suyanto dan Mudjiman (1999), udang windu termasuk hewan omnivora, yang memiliki sifat nokturnal dan kanibalisme serta relatif tahan terhadap penyakit. Teknik pembesaran udang windu tidak terlalu rumit, namun yang harus diperhatikan secara khusus adalah manajemen kualitas airnya.
Kualitas air adalah variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kehidupan udang dan biota air lainnya. Variabel tersebut meliputi parameter fisika (warna, kecerahan, suhu), parameter kimia ( Kandungan O2, CO2, pH, NH3) serta parameter biologi (jumlah dan jenis organisme yang hidup di perairan seperti fitoplankton dan zooplankton). Kualitas air sangat menentukan dalam pemeliharaan udang windu, air yang kurang baik dapat menyebabkan udang menjadi lemah, nafsu makan berkurang, mudah terserang penyakit sehingga dapat menyebabkan kematian.

KARAKTERISITK EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove biasanya dikenal sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Mangrove biasa juga disebut sebagai farmasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung. Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh terutama pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Ekosistem seperti ini tersebar di seluruh kabupaten di Kalimantan Barat yang memiliki garis pantai (Sumiono et al., 1991).
Pada pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat, mangrove sulit atau tidak dapat tumbuh, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur sebagai substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Hutan mangrove juga merupakan hutan khas tropis yang penyebarannya dibatasi pada letak lintang, karena vegetasi ini sangat sensitif terhadap suhu dingin (Nontji, 1993; Dahuri et al., 1996).
Vegetasi mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi pada kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Daya adaptasi tersebut meliputi: 1) perakaran yang pendek dan menyebar luas, dengan akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga menjamin kokohnya batang, 2) memiliki daun yang kuat dan mengandung banyak air, 3) mempunyai jaringan internal penyimpanan air dengan konsentrasi garam yang tinggi, beberapa jenis mangrove mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga keseimbangan osmotic dengan mengeluarkan garam, 4) adanya sistem akar nafas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya, 5) beberapa jenis berkembang biak dengan buah yang sudah berkecambah sewaktu masih di pohon induknya (viviper) (Nybakken, 1988; Noor et al., 1999).
Mangrove di Indonesia dikenal memiliki keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis), dan parasit (2 jenis)(Nontji, 1993). Namun menurut Noor et al.. (1999), mangrove di Indonesia terdiri atas 202 jenis dan 150 jenis diantaranya terdapat di pulau Kalimantan. Beberapa contoh mangrove yang berupa pohon adalah bakau (Rhizopora), api-api (Avicennia), pedade (Sonneratia) tajang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops), dan buta-buta (Excoecaria).
Dari segi ekosistem perairan, hutan mangrove mempunyai arti yang penting karena memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Dengan bantuan mikroorganisme, mangrove yang gugur diuraikan menjadi partikel-partuikel detritus yang selanjutnya menjadi makanan bagi hewan laut. Selain itu bahan organik terlarut yang dihasilkan dari proses dekomposisi dapat menjadi makanan bagi organisme penyaring (filter feeder) dan hewan pemakan dasar (bottom feeder) yang ada di laut maupun estuaria. Dengan sistem perakaran yang ada, luasnya naungan dan banyaknya bahan organik, menyebabkan hutan mangrove menjadi tempat pemijahan (spawming ground), daerah asuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding area) bagi berbagai jenis ikan, udang dan berbagai jenis kerang (Nybakken, 1988; Dahuri et al., 1996; Noor et al., 1999). Selanjutnya dinyatakan, sistem perakaran yang kekal seperti ini menyebabkan mangrove mampu mereda pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin topan.
Kelestarian hutan mangrove dipengaruhi oleh 3 parameter lingkungan utama, yaitu 1) suplai air tawar dan salinitas, 2) pasokan nutrien, dan 3) stabilitas substrat (Dahuri et al., 1996). Meskipun mangrove mampu beradaptasi pada kondisi salinitas yang ekstrim, namun suplai air tawar tetap diperlukan untuk mengendalikan efisiensi metabolik dari ekosistem hutan mangrove. Pasokan nutrien bagi daerah mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi: input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik, serta pendaur ulangan nutrien secara internal melalui rantai dan jaring makanan berbasis detritus. Stabilitas substrat memiliki arti penting bagi spesies hutan mangrove yang tergambar dari kemampuan hutan mangrove untuk menahan akibat yang menimpa ekosistemnya.
Bakau (Rhizopora apiculata) termasuk kedalam famili Rhizopora yaitu pohon dengan akar tunjang melengkung ke belakang dan dari dahan-dahan turun akar gantung (Samingan dalam Irawan, 1997). Rhizopora apiculata juga merupakan pohon yang memiliki tinggi diatas 30 cm dan berdiameter 50 cm yang terdapat di hutan mangrove.
Selanjutnya dikatakan oleh Whitmore et al., dalam Irawan (1997) bahwa bakau mempunyai daun yang berbentuk bulat telur yang berwarna hijau, ujung daun runcing sampai membulat, duduk, daun berhadapan dan bertangkai. Daun pemumpu terletak antara tangkai daun, cepat rontok dengan meninggalkan bekas berbentuk cincin. Bunga berpasangan dengan sumbu pendek dan tipis, penumpunya berpasangan, panjang 1-4 cm, warna kadang-kadang merah.
Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu mangi-mangi yang berarti mengrove merah (Rhizopora apiculata). Kadang juga disebut sebagai hutan pantai karena berada di pesisir pantai, atau hutan pasang surut karena selalu tergenang pada waktu pasang dan bebas dari genangan pada waktu surut, atau hutan payau karena berada pada areal payau berlumpur atau hutan bakau. Namun dalam hutan mangrove tidak hanya pohon bakau yang ada, tetapi banyak juga jenis pohon lain yang ikut mendominasi (Adijaya, 2003).
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat, jenis-jenis pohonnya berdaun hijau sepanjang tahun. Jenis pohon bakau dari laut ke arah darat ditemukan secara berturut-turut, yaitu Sonneratia spp., Avicennia spp., Rhizopora spp., Brugiera spp., Ceriops spp., Lumitzera spp., dan Xylocarpus spp. Dari seluruh jenis tersebut, nilai ekonomi kayu Rhizopora spp. Dan Brugiera spp. Paling tinggi nilai ekonominya (Departemen Kehutanan, 1996).

PEMANFAATAN POHON BAKAU
Hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting terutama bila ditinjau dari segi lingkungannya, baik terhadap lahannya sendiri yaitu sebagai penahan erosi pantai (abrasi), bagi kehidupan satwa liar, untuk perkembangbiakan ikan dan biota laut, maupun dari segi pemanfaatannya oleh manusia untuk dipungut hasil hutannya dan sebagai objek wisata.
Menurut Departemen Kehutanan (1996), fungsi dari ekosistem hutan mangrove dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.    Fungsi fisik
a.    Menjaga garis pantai agar tetap stabil atau mencegah kerusakan pantai dari bahaya erosi pantai
b.    Mempercepat terjadinya perluasan pantai dan pulau
c.    Melindungi pantai dari tebing sungai dari bahaya longsoran
d.    Sebagai pengolah bahan limbah
e.    Sebagai penahan hembusan angin
2.    Fungsi Biologi
a.    Tempat berkembangbiaknya benih ikan, udang, kerang, kepiting, dan biota laut lainnya
b.    Tempat bersarangnya burung-burung besar
c.    Tempat habitat reptilia
d.    Habitat alami biota laut
3.    Fungsi Ekonomi
a.    Tempat pengambilan kayu dan kulit kayu
b.    Tempat budi daya tambak ikan dan udang
c.    Tempat pembuatan ladang garam
d.    Tempat rekreasi tamasya pantai
e.    Sebagai bahan arang kayu yang berkualitas tinggi
Hutan mangrove dengan vegetasi hutan bakau memiliki peranan yang tidak dapat tergantikan oleh ekosistem lain, yaitu kedudukannya sebagai mata rantai yang mengaitkan ekosistem laut dan ekosistem darat (Saraswati, 2004). Tambak merupakan salah satu wujud manipulasi dari ekosistem laut yang ditempatkan pada ekosistem darat. Dengan membiarkan keberadaan pohon bakau pada tambak, maka keseimbangan antara kedua ekosistem tersebut dapat dipertahankan. Salah satu areal mangrove dijadikan sebagai tempat tangkapan udang oleh beberapa masyarakat. Hal ini dapat dilihat areal mangrove yang digunakan untuk pentokolan udang.
Selain itu, secara umum Proctor (1983) juga menyatakan bahwa pohon bakau memiliki fungsi yang sangat penting dalam daur ulang nutrien bagi ekosistem yang disekitarnya. Serasah atau litter fall (guguran daun, ranting, kulit batang, bunga, buah dan biji) pohon bakau dapat menjadi substrat dan pakan bagi biota maupun bakteria disekitarnya. Sedangkan sistem perakarannya berfungsi sebagai substrat bagi pertikel-partikel tersuspensi dan terkoloid di sekitarnya.
Penanaman pohon bakau pada tambak akan sangat berguna dalam proses dekomposisi dan suplai oksigen pada tambak. Serasah pohon bakau yang telah diuraikan oleh jamur dan bakteri akan berubah menjadi komponen-komponen bahan organik (zat hara) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh plankton maupun oleh pohon bakau itu sendiri dalam proses fotosintesis (Naamin, 1990).
Menurut Al-Rasyid (1990), serasah pohon bakau tergolong cepat mengalami proses dekomposisi karena sedikit mengandung lignin, hal ini akan mencegah terjadinya pembusukan pada tambak.

PENGARUH POHON BAKAU TERHADAP KUALITAS AIR
Adapun kualitas air salah satu tambak yang ada di Kabupaten Pontianak yaitu:
Kisaran peubah parameter kualitas air beberapa tambak di Kecamatan Dabung pada bulan Januari-Februari 2005:
Oksigen terlarut (mg/L): 5 - 7
CO2 (mg/L): 35 - 50
PH: 6,5 - 8
Suhu (ºC): 27 - 30

Kondisi normal ini terjadi karena adanya pohon bakau pada tambak. Serasah (guguran daun, ranting, kulit batang, bunga, buah dan biji) pohon bakau yang jatuh disekitar dan di dalam tambak merupakan substrat yang baik bagi jamur dan bakteri untuk berkembang biak. Dengan jumlah populasi bakteri yang optimal, maka proses dekomposisi akan berjalan dengan lancar. Sisa pakan, eksresi dan sedimen-sedimen lainnya yang menghasilkan amoniak (NH3) akan diubah menjadi ion ammunium (NH4+) yang diperlukan dalam proses nitrifikasi oleh bakteri Nitrobacter, sehingga menghasilkan Nitrat (NO3) yang dipergunakan sebagai pupuk oleh fitoplankton dan pohon bakau.
Dengan adanya nutrisi tersebut, maka fitoplankton dan pohon bakau dapat melakukan proses fotosintesis, sehingga ketersediaan O2 yang berkesinambungan. Disamping itu, kandungan CO2 di dalam perairan tambak juga akan relatif rendah, selain disebabkan oleh kandungan O2 yang tinggi, sebagian besar CO2 akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan pohon bakau dalam proses fotosintesis.
Pemupukan biasanya dilakukan pada pagi hari agar proses fotosintesis yang terjadi dapat berlangsung dengan sempurna, hal ini sesuai dengan pernyataan (Boyd & Litckkoppler, 1982), bahwa kesuburan suatu perairan tergantung pada kemampuan fitoplankton untuk melakukan proses fotosintesis.
Secara umum Suyatno & Mudjiman (1994), menyatakan bahwa kisaran pH yang normal bagi pembesaran udang windu adalah 7-8. Perubahan pH pada perairan dipengaruhi oleh kandungan CO2 di dalam perairan tersebut. Pada saat kandungan CO2 di dalam perairan berada pada kisaran dibawah 5 mg/liter, maka hal ini dapat menyebabkan kenaikan pH yang cukup signifikan. Kandungan CO2  yang terlalu rendah, dapat mengakibatkan kematian massal fitoplankton karena tidak ada proses fotosintesis. Kematian tersebut menyebabkan tingginya konsentrasi gas-gas beracun dari proses dekomposisi yang terlambat sehingga tingkat keasaman meningkat. Hal ini dapat diatasi dengan pergantian air dan pemberian produk probiotik (super photosintetic). Sedangkan untuk mengatasi nilai pH yang rendah dapat dilakukan pengapuran (Boyd & Litckkoppler, 1982). Kapur tohor (CaO) sangat efektif untuk menaikkan pH.
Menurut Boyd & Litckkoppler, (1982), fluktuasi suhu yang mencolok akan berpengaruh langsung terhadap udang. Suhu yang paling cocok untuk udang windu berkisar antara 28ºC-32ºC. suhu perairan dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut dan kandungan CO2. Pada saat suhu tinggi kadar DO (disolve oxygen) cenderung rendah. Jika suhu perairan terlalu tinggi, udang akan mudah mengalami stres dan kram (kejang) karena tubuhnya kurang mampu untuk melakukan adaptasi, hal ini dapat diatasi dengan pemberian pelindung (shelter) berupa tumbuh-tumbuhan seperti pohon bakau. Selain itu, juga dapat diatasi dengan penambahan ketinggian air, sehingga stratifikasi suhu perairan memiliki jarak atau batas yang cukup luas untuk berteduh. Namun, jika suhu perairan terlalu rendah, udang akan berkurang nafsu makannya, hal ini dapat diatasi dengan pemberian kapur tohor (CaO) sebanyak 5 mg/L.

PENUTUP
Pohon bakau merupakan mata rantai yang menghubungkan antara ekosistem laut dan ekosistem darat. Sehingga keseimbangan perairan tambak dapat dioptimalkan.
Pohon bakau memiliki serasah (Litterfall) yang berperan aktif sebagai sumber bahan organik terlarut yang dibutuhkan untuk kestabilan kualitas air pada tambak.
Sistem perakaran pohon bakau berfungsi sebagai substrat atau penyaring bagi partikel-partikel yang tersuspensi dan terkoloid pada perairan tambak.

No comments:

Post a Comment