Friday 2 November 2012

Mengenal Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii)

ABSTRAK
Dua jenis rumput laut yang merupakan komoditas utama budi daya di Indonesia yakni Gracillaria di tambak dan Eucheuma/Kappaphycus di laut. K. alvarezii atau yang lebih popular dengan nama Eucheuma cottonii merupakan salah satu spesies yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Peluang pasar yang tinggi menjadikan komoditas ini semakin banyak diminati. Indonesia merupakan penghasil rumput laut, karaginan terbesar kedua dunia setelah Filipina. Untuk mengenal lebih dekat rumput laut tersebut, makalah ini akan memberikan gambaran secara umum karakteristik  K. alvarezii yang meliputi taksonomi, morfologi, reproduksi, eko-fisiologi dan distribusi, serta dilengkapi dengan dukungan hasil riset mengenai pertumbuhan dan analisis genetic antara dua perbedaan warna dari spesies rumput laut tersebut.

PENDAHULUAN
Rumput laut atau seaweed sangat popular dalam dunia perdagangan yang dalam ilmu pengetahuan dikenal sebagai alga atau masyarakat biasa menyebutnya “ganggang”. Rumput laut, salah satu komoditas hasil perikanan, merupakan sumber utama penghasil agar-agar, alginat, dan karaginan yang banyak dimanfaatkan dalam industry makanan, kosmetik, farmasi, dan industry kertas, tekstil, fotografi, pasta, dan pengalengan ikan. Dengan demikian, prospek rumput laut sebagai komoditas perdagangan semakin cerah, baik dalam memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun kebutuhan ekspor (Tabel 1). Tingginya peluang pasar tersebut (sekitar 72.000 ton) pada tahun 2002 memberikan peluang yang menjanjikan bagi pembudi daya rumput laut. Pengembangan teknologi budi daya rumput laut merupakan salah satu upaya dalam memenuhi kebutuhan tersebut secara kontinyu dengan kualitas yang lebih baik.
Pangsa pasar rumput laut di manca Negara semakin cerah, seperti Hongkong, Korea Selatan, Perancis, Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, serta beberapa Negara industry maju lainnya. Sehingga Negara produsen terbesar seperti Filipina dan Indonesia dapat menjadikan komoditas tersebut sebagai komoditas andalan penghasil devisa Negara. Pada tahun 2003, volume ekspor rumput laut Indonesia dalam bentuk kering mencapai 40.162 ton dengan nilai US$ 20.511.027. apabila dibandingkan dengan volume eskpor tahun 1999 sebesar 25.084 ton, maka ekspor rumput laut selama dekade 1999-2003 mengalami perkembangan sebesar 13,97 % per tahun (Anonim, 2005). Peningkatan permintaan pasar rumput laut akan memicu berkembangnya budi daya rumput laut khususnya di Indonesia baik Gracilaria maupun Eucheuma.
Karaginan, salah satu bahan kebutuhan industri yang telah diperdagangkan di pasar internasional, merupakan produk dari rumput laut jenis Eucheuma dan Kappaphycus. Pasar dunia jenis rumput laut yang mengandung karaginan rata-rata mencapai 130.000 ton per tahun, sedangkan pasar karaginan mencapai 15.000-20.000 ton/tahun. Pasar terbesar adalah Eropa (35 %), Asia Pasifik (25 %), Amerika Utara (25 %), dan Amerika Selatan (15 %). Industri karaginan dunia mengalami pertumbuhan yang menggembirakan, khususnya produk konvensional dan semi refined product, hal ini disebabkan karena banyaknya industri hilir yang membutuhkan seperti industri daging dan dairy khususnya di pasar Amerika Serikat. Lebih dari ½ produksi rumput laut penghasil karaginan dilakukan oleh Filipina. Indonesia menempati urutan kedua produksi rumput laut penghasil karaginan di atas Chili dan Kanada.

Taksonomi
Taksonomi dari rumput laut K. alvarezii dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Sub Kelas : Florideophycidae
Ordo : Gigartinales
Famili : Soliericeae
Genus : Kappaphycus
Spesies : Kappaphycus alvarezii
Di Indonesia, rumput laut dikenal dua kelompok (genus) utama yang dibudidayakan yakni Gracilaria di tambak dan Eucheuma di perairan pantai. Rumput laut, E. cottonii yang selama ini dikenal oleh pembudi daya rumput laut adalah sinonim dari nama Kappaphycus alvarezii. Nama K. alvarezii tersebut secara taksonomi telah menggantikannya atas dasar tipe kandungan karaginan yang dihasilkan yakni kappa-karaginan.
Morfologi
Identitas dari rumput laut K. alvarezii adalah thallus silindris, permukaan licin, cartilageneus, warna hijau, hijau kekuningan, abu-abu, coklat, atau merah. Penampakan thalus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thalus terdapat juga sama seperti halnya dengan E. denticulatum tetapi tidak bersusun melingkari thalus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah basal. Tumbuh melekat ke  substrat dengan alat pelekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut tampak ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk.
Pada umumnya petani rumput laut mengenal dua kelompok warna K. alvarezii yaitu warna hijau dan coklat. Perbedaan warna rumput laut tersebut dapat dijumpai pada beberapa lokasi budi daya antara lain di Pinrang dan Mamuju (Sulawesi Selatan), Madura (Jawa Timur) dan Gerubuk (Lombok). Berdasarkan perbedaan warna tersebut sehingga rumput laut tersebut dikelompokkan menjadi varietas coklat dan hijau.
Reproduksi
Generatif. Reproduksi rumput laut secara generatif atau dikenal juga sebagai perkembangbiakan secara kawin. Rumput laut diploid (2n) menghasilkan spora yang haploid (n). spora ini kemudian menjadi 2 jenis yakni jantan dan betina yang masing-masing bersifat haploid (n). selanjutnya rumput laut jantan akan menghasilkan sperma dan rumput laut betina akan menghasilkan sel telur. Apabila kondisi lingkungan memenuhi syarat akan menghasilkan suatu perkawinan dengan terbentuknya zigot yang akan tumbuh menjadi tanaman baru.
Vegetatif. Proses perbanyakan secara vegetatif berlangsung tanpa melalui perkawinan. Setiap bagian rumput laut yang dipotong akan tumbuh menjadi rumput laut muda yang mempunyai sifat seperti induknya. Perkembangbiakan dengan vegetativ lebih umum dilakukan dengan cara stek dari cabang-cabang thalus yang muda, masih segar, warna cerah, dan memiliki percabangan yang rimbun, serta terbebas dari penyakit.
Eko-fisiologi
Respon Cahaya. Beberapa kurva respon cahaya telah dikembangkan dalam studi rumput laut komersial. studi seleksi strain memperlihatkan bahwa perbedaan tipe warna K. alvarezii memiliki respon fotosintesis yang berbeda. Perbedaan ekotipik dan variasi dalam efisiensi fotosintesis diperlihatkan pada rumput laut E. denticulatum antara tipe merah, coklat, dan hijau tetapi tidak diperlihatkan pada rumput laut, K. alvarezii selama kandungan nitrogen pembatas dinaikkan (Ask & Azanza, 2002)
Fotosintesis rumput laut pada umumnya kelompok Eucheuma mengikuti kaidah pola diurnal. Dimana puncak fotosintesis pada rumput laut budi daya terjadi pada saat sebelum tengah hari. Rumput laut E. denticulatum memperlihatkan tingkat pertumbuhan tertinggi pada pencahayaan 12:12 L/D dengan intensitas cahaya sekitar 6.000 lux.
Respon Suhu. Respon rumput laut komersil Eucheuma terhadap suhu telah dilakukan beberapa penelitian baik pada kultivasi di perairan maupun di laboratorium. Maksimum fotosintesis untuk rumput laut E. sriatum dan E. denticulatum berada pada suhu 300C dan akan terhambat pada suhu 350C-400C. sedangkan tingkat optimal fotosintesis untuk E. denticulatum adalah 300C-350C. dawes (1989) dalam Ask & Azanza (2002) menyatakan bahwa rumput laut K. alvarezii dapat mentolerir suhu antara 250C-280C. pertumbuhan dan produksi biomassa rumput laut jenis Kappaphycus pada daerah subtropis misalnya di Jepang, akan lebih cepat terjadi pada perairan yang memiliki suhu 250C-300C.
Respon Salinitas. Informasi mengenai respon salinitas yang dilaporkan terhadap pertumbuhan atau fotosintesis pada rumput laut komersial khususnya K. alvarezii masih sangat sedikit.rumput laut E. isiforme memiliki respirasi dan fotosintesis maksimum pada salinitas 30-40 ppt sementara E. uncinatum dan E. denticulatum adalah pada 30 ppt. E. sriatum tidak dapat tumbuh pada salinitas dibawah 24 pptatau diatas 45 ppt. menurut Doty (1987) dalam Risjani (1999a), rumput laut K. alvarezii mempunyai salinitas optimum yang berkisar antara 29-34 ppt. sedangkan menurut Kadi & Atmadja (1988), salinitas optimalnya adalah 30-37 ppt.
Respon Nutrien dan Pergerakan Air. Nutrien sangat berperan dalam pertumbuhan rumput laut khususnya kandungan nitrogen dan fosfat. Laju pertumbuhan K. alvarezii berkorelasi secara positif dengan kenaikan kandungan nitrogen di dalam tanaman dan di lingkungan budi daya (Risjani, 1999b). penggunaan nutrien NH4 pada konsentrasi 10 mM selama 1 jam setiap 3 hari pada budi daya K. alvarezii di tanki dan di laut memperlihatkan pertumbuhan dua kali lipat dengan kontrol. Dengan perlakuan tersebut juga dilaporkan adanya pengaruh kepada rasio C : N, kandungan karaginan dan kekuatan gel. Hasil riset membuktikan bahwa eksperimen yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan K. alvarezii dipengaruhi secara nyata oleh pergerakan air. Pertumbuhan akan lebih baik pada musim panas dibandingkan dengan musin dingin pada kultivasi K. alvarezii di Hawai (Gleen & Doty, 1992 dalam Ask & Azanza, 2002).
Distribusi
Rumput laut K. alvarezii asal mulanya didapatkan dari perairan Kalimantan kemudian dikembangkan ke berbagai negara sebagai tanaman budi daya (Doty, 1970). Budi daya rumput laut K. alvarezii di Bali pertama kali menggunakan bibit yang berasal dari Tambalang-Filipina sebagai negara yang pertama kali mengekspor jenis rumput laut ini, kemudian bibit tersebut dikembangkan ke daerah-daerah lain di Indonesia. Budi daya rumput laut jenis tersebut secara komersil baru dilakukan di Indonesia sejak tahun 1985 jauh setelah teknologi budi daya rumput laut diperkenalkan di Filipina sejak tahun 1971.

Keragaan Rumput Laut K. alvarezii Varietas Coklat dan Hijau
Menurut Mubarak et al. (1990), pertumbuhan harian rumput laut dinilai menguntungkan secara ekonomi adalah tidak kurang dari 3%/hari. Demikian pula halnya pemilihan varietas rumput laut yang memiliki keunggulan dapat dipertimbangkan. Beberapa petani di Takalar, Bulukumba, dan Bantaeng berpendapat bahwa Kappaphycus varietas coklat akan berubah menjadi hijau atau sebaliknya selama masa pemeliharaan berlangsung. Tetapi berdasarkan pengalaman petani di Pinrang dan Mamuju (Sulawesi Selatan) varietas tersebut tidak akan berubah selama pemeliharaan, selain itu mereka berpendapat bahwa varietas hijau mempunyai ketahanan dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas coklat pada musim kemarau dan sebaliknya pada musim hujan. Hasil penelitian yang dilakukan Parenrengi et al. (2004) pada bulan September-Agistis 2004 (periode musim kemarau) di Pinrang memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan harian rumput laut jauh lebih tinggi pada varietas hijau (4,0054 % ± 0,81%/hari) dibandingkan dengan varietas coklat (2,7949% ± 0,58%/hari) selama 45 hari pemeliharaan. Hal tersebut juga didukung dengan tingginya penyediaan/kandungan nitrogen dalam rumput laut varietas hijau (1,27 %) dibandingkan dengan varietas coklat (0,93 %). Namun data pertumbuhan rumput laut kedua varietas tersebut pada periode musim hujan belum didapatkan., sehingga perlu pengamatan dilakukan sepanjang tahun setiap lokasi budi daya sehingga hasilnya dapat menjadi pertimbangan penetapan pola tanam setiap lokasi.
Selain perbedaan respon pertumbuhan dan kandungan nitrogen juga telah didapatkan perbedaan genetika berdasarkan DNA fragmen kedua varietas tersebut (Sulaeman et al., 2005). Analisis keragaan genetika rumput laut K. alvarezii khususnya yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan (Polmas, Pinrang, Takalar, dan Bantaeng) menunjukkan bahwa tingkat polimorfisme yang relatif rendah yakni sekitar 3,6 %-31,0 % dengan jarak genetika antara beberapa lokasi budi daya adalah 0,1758-0,5689,(Parenrengi et al., 2004).

PENUTUP
Budi daya rumput laut K. alvarezii kelihatannya masih memberikan harapan yang cerah bagi pembudi daya selama harga rumput laut kering masih dapat dipertahankan pada posisi yang menguntungkan. Riset pengembangan wilayah meliputi zonasi, pola tanam, dan kebijakan daerah merupakan aspek yang menarik untuk dikaji dalam upaya mengoptimalkan produksi rumput laut di masa mendatang. Selain itu, kebun bibit serta keragaan genetika rumput laut sebagai data dasar plasma nutfah Indonesia masih tetap harus dipertahankan.


No comments:

Post a Comment