Wednesday, 17 October 2012

Ternyata Ikan Nila (Oreochromis niloticus), Mempunyai Potensi yang Besar untuk Dikembangkan


ABSTRAK
Ikan ini menjadi sangat popular setelah pertama kali diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1969 dari Taiwan. Ikan ini dikenal karena mudah berkembang biak, pertumbuhannya cepat, anaknya banyak, ukuran badan relative besar, tahan penyakit, sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan, relative murah harganya, dan enak dagingnya. Keunggulan ikan ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya produksi budi daya ikan inidi Indonesia dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2002. Daerah yang terbanyak menghasilkan ikan nila yang dibesarkan pada system kolam dan KJA adalah provinsi Jawa Barat. Pembudi daya umumnya sangat percaya keberhasilan usaha budi daya ikan nila karena produktifitasnya yang tinggi., dalam hal lingkungan mempunyai sifat yang tahan (resistant), dalam hal pakan secara alami adalah plankton feeder yang cenderung omnivorous, sehingga rantai makanannya pende, dan dalam hal mutu genetic mempunyai sifat cepat pertumbuhannya, apalagi dengan system monoseks jantan. Ikan ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Potensi lahan budi daya di perairan umum di Indonesia seluas 141.690 ha baru dimanfaatkan sekitar 45,5 % (64,469 ha) yang penyebarannya terkonsentrasi di beberapa daerah saja. Di air payau ikan nila sangat berpotensi untuk dikembangkan di tambak-tambak udang intensif yang banyak ditelantarkan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyatakan potensi nasional tambak sebesar 1 juta ha, pemanfaatannya baru 35 % atau seluas 350.000 ha. Di air laut berdasarkan beberapa literature pembesaran ikan nila merah masih bias dilakukan. Lahan potensial budi daya di air laut diperkirakan mencapai 1,9 juta ha. Masalah-masalah yang masih ada seperti penyebaran tingkat pemanfaatan perairan umum, pemanfaatan Culture Based Fisheries di Jawa, dan pemodal besar yang hanya bertujuan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempedulikan lingkungannya harus dipecahkan. Selain itu perlu peningkatan penyediaan dan distribusi fasilitas sarana produksi seperti : pakan, pupuk, obat, vaksin, dan lain-lain. Pengelolaan induk nila yang terkoordinasi antar pembudi daya dengan aparat yang berwenang agar tidak terjadi penurunan mutu genetic. Penelitian masih perlu dilanjutkan terutama terhadap penurunan mutu genetic ikan nila, utamanya dibidang pembesaran (grow-out).

PENDAHULUAN
Ikan nila (Oreochromis niloticus), dengan nama internasional nile tilapia berasal dari sungai Nil di Afrika, merupakan salah satu jenis ikan budi daya yang cukup dikenal baik secara nasional maupun internasional. Ikan ini menjadi sangat popular setelahpertama kali diintroduksi ke Indonesia pada tahun 1969 dari Taiwan (Widiyati et al., 1999), dan disebarkan ke setiap provinsi pada tahun 1971. Ikan ini terkenal karena mudah berkembang biak, pertumbuhannya cepat, anaknya banyak, ukuran badan relative besar, tahan penyakit, sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan, relative murah harganya, dan enak dagingnya (Wardoyo, 1997), disamping sifatnya pemakan plankton yang cenderung omnivorous, artinya tidak memerlukan pakan yang khusus. Satu kelebihan lain dari ikan nila adalah kemampuannya untuk hidup pada rentang salinitas yang lebar, sehingga ikan ini dapat dibudidayakan di air tawar, payau maupun di laut.

PRODUKSI DAN PRODUKTIVITASNYA
Keunggulan ikan nila seperti yang disebutkan di muka, dapat dibuktikan dengan terus meningkatnya produksi budi daya ikan nila di Indonesia dari tahun 1993 sampai tahun 2002, meskipun hanya merupakan gambaran produksi dari system budi daya yang paling dominan, berurutan dari kolam, keramba, sawah, dan KJA (Anonim, 2002). Masih ada poduksi dari system budi daya yang lain, misalnya tambak, hampang (pen culture), dan budi daya di saluran-saluran irigasi, yang jumlahnya relative kecil sehingga seringkali tidak dimasukkan dalam data statistic nasional. Produksi ini belum mencakup ikan nila hasil tangkapan dari perairan umum.
Daerah yang terbanyak menghasilkan nila yang dibesarkan pada system kolam dan KJA adalah Provinsi Jawa Barat, sedangkan untuk system keramba adalah dari Provinsi Jawa Tengah.
Produktivitas suatu ikan budi daya tergantung dari kondisi yang ada di dalam system budi dayanya, yaitu kondisi lingkungan, makanan, dan mutu genetic dari ikannya sendiri. Produktivitas nila yang pada saat ini banyak dibesarkan di kolam, sawah, KJA, dan keramba pada umumnya cukup tinggi. Banyak pembudidaya yang membudidayakan ikan nila karena dalam hal lingkungan mempunyai sifat yang tahan (resistant), sehingga pembudidaya menjadi lebih percaya akan keberhasilannya. Dalam hal pakan nila secara alami adalah plankton feeder dan cenderung omnivorous, sehingga mempunyai rantai makanan yang pendek, sementara dalam hal mutu genetic, cepat pertumbuhannya. Apalagi dengan adanya system monosex jantan produktivitasnya masih dapat ditingkatkan sehingga membuat ikan ini selalu menjadi favorit pembudi daya. Diperkirakan rata-rata produktivitas umumnya ikan nila di kolam dan sawah masing-masing 800 dan 300 kg/ha/tahun (Hardjamulia & Wardoyo, 1992). Sedangkan di KJA dan keramba masing-masing 200 dan 60 kg/m3/tahun (Ismail & Wardoyo, 1997).

PELUANG PENGEMBANGAN
Mengingat keunggulan sifat ikan nila yang mudah dibenihkan, mudah dibesarkan baik di air tawar, payau, maupun laut pada berbagai system budi daya, disamping ukurannya yang besar dan tahan penyakit, maka potensi untuk pengembangan budi dayanya sungguh besar. 
Di air tawar potensi pembesaran ikan nila di kolamdan sawah sangat tepat terutama di luar Jawa di daerah pegunungan dimana sumber air yang masih berlimpah dan kompetisi peruntukan antar sector dan subsektorbelum terlalu ketat, misalnya di Sumatera Utara, Bengkulu, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan pengembangan di perairan umum cocok dengan system budi daya Keramba Jaring Apung (KJA) dan keramba biasa yaitu di provinsi-provinsi di luar Jawa yang banyak memiliki perairan umum (danau, rawa, perairan bekas galian C dan sungai), misalnya di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, dan Jambi. Indonesia memiliki perairan umum terluas di Asia Tenggara, yaitu 13,7 juta ha dibandingkan dengan Malaysia, Filipina dan Thailand yang masing-masing hanya 0,5; 0,3; dan 4 juta ha. (Sarnita et al., 2001). Potensi lahan budi daya di perairan umum di Indonesia seluas 141.690 ha baru dimanfaatkan sekitar 45,5 % (64,469 ha) yang penyebarannya terkonsentrasi pada beberapa daerah, sehingga mengakibatkan daerah tersebut mempunyai tingkat pemanfaatan yang berlebihan (Direktur Bina Sumber Hayati, 1993). Pengembangan nila di perairan bekas galian C yang ditelantarkan di Jawa, dengan system pengelolaan perikanan berbasis budi daya (Culture-Based Fisheries) bukan budi daya KJAadalah sangat strategis. Disebut strategis karena pada umumnya lokasi perairan-perairan tersebut tidak jauh dari daerah pemukiman, sehingga disamping dapat memberikan peluang kerja bagi masyarakat kecil sekitarnya. Usaha-usaha budi daya KJA yang umumnya dilakukan oleh pemodal dari luar daerah juga tidak dapat berkembang. Para pemodal tersebut pada umumnya hanya bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan lingkungan perairan.
Pengembangan budi daya ikan dengan system pengelolaan perikanan berbasis budi daya, yang saat ini banyak menggunakan ikan nila, merupakan program nasional Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan (Wardoyo et al., 2004). Sebagai contoh perairan bekas galian pasir di bantaran sungai Citarum, ruas antara bendungan Curug dan Walahar, Karawang, ada 12 buah dengan luas total kurang lebih 250 ha. Ke-12 perairan tersebut memiliki kualitas air yang cocok untuk kehidupan ikan (Wardoyo, et al., 2003; Wardoyo, 2002; Wardoyo & Pratiwi, 2004). Contoh lain, Kabupaten Tangerang memiliki potensi lahan budi daya di bekas galian pasir yang cukup luas hingga mencapai 4.500 ha (Tim Studi, 2000 dalam Wardoyo et al., 2003). Perairan-perairan semacam ini yang menyebar di seluruh Indonesia pada umumnya ditelantarkan begitu saja tanpa ada pemanfaatan. Perlu diketahui bahwa pengelolaan perikanan berbasis budi daya memfokuskan pada penebaran benih dan pemanenan ikan yang dilakukan secara bersama oleh kelompok masyarakat di sekitar perairan tersebut.
Di air payau ikan nila sangat berpotensi untuk dikembangkan di tambak-tambak udang intensif yang banyak ditelantarkan, karena nila mempunyai kemampuan pada air laut. Budi daya udang windu secara intensif di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1991-1994. Setelah periode tersebut jumlah produksi udang budi daya mulai menurun. Hal ini terjadi karena kegagalan panen akibat penurunan kualitas lingkungan dan merebaknya penyakit, utamanya di pantai-pantai Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat (Ariyanto, 2004). Disamping tambak-tambak udang intensif yang ditelantarkan potensi lahan tambak yang ada masih cukup besar. Data di Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyatakan potensi nasional tambak sebesar 1 juta ha, pemanfaatannya baru 35 % atau seluas 350.000 ha. Sebagai contoh di Jawa Barat potensi lahan tambak mencapai 96.326,3 ha; baru dimanfaatkan 58 %nya (Suwidah et al., 2001). Dengan demikian pengembangan nila di tambak masih sangat memungkinkan.
Di air laut berdasarkan beberapa literatur pembesaran nila utamanya nila merah masih bisa dilakukan (Suryanti et al., 1991; Suryanti et al., 1993; Hopkin et al., 1985; Watanabe et al., 1989). Bahkan ikan nila masih mampu melakukan reproduksi di air payau dengan syarat ikan masih muda atau saat perkawinan sudah diadaptasikan dahulu secara perlahan-lahan ke air payau (Watanabe et al., 1984 dalam Wardoyo, 1990b; Wardoyo, 1990a). budi daya pembesaran ikan nila di laut diperkirakan mencapai 1,9 juta ha. Dari potensi tersebut yang layak untuk budi daya ikan adalah 369.500 ha. Tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Dari luasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk budi daya ikan sistem KJA seluas 1% atau 3.695 ha (Ramelan, 1998). Apabila produktivitas ikan untuk budi daya sistem KJA 100 kg/m3 (Rachmansyah et al., 2000), maka dari luasan tersebut akan diperoleh produksi potensial 3.695.000 ton.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Mencermati banyaknya keunggulan ikan nila dan besarnya potensi lahan untuk budi daya seperti yang telah diuraikan di atas, maka prospek pengembangan budi daya ikan nila di Indonesia sangat jelas. Akan tetapi secara teknis maupun sosial ekonomis, masalah-masalah yang masih ada seperti penyebaran tingkat pemanfaatan perairan umum, pemanfaatan culture-based fisheries (CBF) di Jawa, dan pemodal besar yang hanya bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperdulikan lingkungannya harus dipecahkan. Selain itu, perlu peningkatan penyediaan dan distribusi fasilitas sarana produksi seperti pakan, pupuk, obat, vaksin, dll. (Anggraeni et al., 1994). Kebijakan negeri China yang berhasil mengembangkan budi daya air tawar sistem terpadu dengan peternakan dan pertanian serta sistem perikanan berbasis budi daya di danau-danau bisa diterapkan di Indonesia (Wardoyo, 1996).
Kebijakan pemerintah untuk mendatangkan strain-strain baru yang unggul dari luar negeri memang tepat, namun harus diikuti dengan pengelolaan induk yang terkoordinasi antara pembudi daya dengan aparat yang berwenang agar tidak terjadi penurunan mutu genetik dan penyebaran penyakit. Disamping itu perlu dilakukan pembinaan secara intensif dan terus menerus baik oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Unit Pelaksanaan Teknis Pusat (UPTP) dan Balai Benih Ikan (BBI) sehingga benih nila yang akan digunakan oleh masyarakat pembudi daya sudah standar, dijamin asli, unggul dan bersertifikat.
Meskipun ikan-ikan introduksi ini aslinya sudah unggul, tetapi karena harus beradaptasi dengan lingkungan di Indonesia sehingga ada kemungkinan terjadinya penurunan produktivitas, maka riset mengenai ikan ini masih perlu dilakukan, khususnya dalam bidang pembesaran (grow out).

No comments:

Post a Comment