Ikan ini menjadi sangat popular setelah pertama kali
diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1969 dari Taiwan. Ikan ini dikenal
karena mudah berkembang biak, pertumbuhannya cepat, anaknya banyak, ukuran
badan relative besar, tahan penyakit, sangat mudah beradaptasi dengan
lingkungan, relative murah harganya, dan enak dagingnya. Keunggulan ikan ini
dapat dibuktikan dengan meningkatnya produksi budi daya ikan inidi Indonesia
dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2002. Daerah yang terbanyak menghasilkan ikan
nila yang dibesarkan pada system kolam dan KJA adalah provinsi Jawa Barat.
Pembudi daya umumnya sangat percaya keberhasilan usaha budi daya ikan nila
karena produktifitasnya yang tinggi., dalam hal lingkungan mempunyai sifat yang
tahan (resistant), dalam hal pakan secara alami adalah plankton feeder yang cenderung omnivorous,
sehingga rantai makanannya pende, dan dalam hal mutu genetic mempunyai sifat
cepat pertumbuhannya, apalagi dengan system monoseks jantan. Ikan ini mempunyai
potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Potensi lahan budi daya di
perairan umum di Indonesia seluas 141.690 ha baru dimanfaatkan sekitar 45,5 %
(64,469 ha) yang penyebarannya terkonsentrasi di beberapa daerah saja. Di air
payau ikan nila sangat berpotensi untuk dikembangkan di tambak-tambak udang
intensif yang banyak ditelantarkan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
menyatakan potensi nasional tambak sebesar 1 juta ha, pemanfaatannya baru 35 %
atau seluas 350.000 ha. Di air laut berdasarkan beberapa literature pembesaran
ikan nila merah masih bias dilakukan. Lahan potensial budi daya di air laut
diperkirakan mencapai 1,9 juta ha. Masalah-masalah yang masih ada seperti
penyebaran tingkat pemanfaatan perairan umum, pemanfaatan Culture Based Fisheries di Jawa, dan pemodal besar yang hanya
bertujuan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempedulikan
lingkungannya harus dipecahkan. Selain itu perlu peningkatan penyediaan dan
distribusi fasilitas sarana produksi seperti : pakan, pupuk, obat, vaksin, dan
lain-lain. Pengelolaan induk nila yang terkoordinasi antar pembudi daya dengan
aparat yang berwenang agar tidak terjadi penurunan mutu genetic. Penelitian
masih perlu dilanjutkan terutama terhadap penurunan mutu genetic ikan nila,
utamanya dibidang pembesaran (grow-out).
PENDAHULUAN
Ikan nila (Oreochromis
niloticus), dengan nama internasional nile
tilapia berasal dari sungai Nil di Afrika, merupakan salah satu jenis ikan
budi daya yang cukup dikenal baik secara nasional maupun internasional. Ikan
ini menjadi sangat popular setelahpertama kali diintroduksi ke Indonesia pada
tahun 1969 dari Taiwan (Widiyati et al.,
1999), dan disebarkan ke setiap provinsi pada tahun 1971. Ikan ini terkenal
karena mudah berkembang biak, pertumbuhannya cepat, anaknya banyak, ukuran
badan relative besar, tahan penyakit, sangat mudah beradaptasi dengan
lingkungan, relative murah harganya, dan enak dagingnya (Wardoyo, 1997),
disamping sifatnya pemakan plankton yang cenderung omnivorous, artinya tidak memerlukan pakan yang khusus. Satu
kelebihan lain dari ikan nila adalah kemampuannya untuk hidup pada rentang
salinitas yang lebar, sehingga ikan ini dapat dibudidayakan di air tawar, payau
maupun di laut.
PRODUKSI DAN PRODUKTIVITASNYA
Keunggulan ikan nila seperti yang disebutkan di
muka, dapat dibuktikan dengan terus meningkatnya produksi budi daya ikan nila
di Indonesia dari tahun 1993 sampai tahun 2002, meskipun hanya merupakan
gambaran produksi dari system budi daya yang paling dominan, berurutan dari
kolam, keramba, sawah, dan KJA (Anonim, 2002). Masih ada poduksi dari system
budi daya yang lain, misalnya tambak, hampang (pen culture), dan budi daya di saluran-saluran irigasi, yang
jumlahnya relative kecil sehingga seringkali tidak dimasukkan dalam data
statistic nasional. Produksi ini belum mencakup ikan nila hasil tangkapan dari
perairan umum.
Daerah yang terbanyak menghasilkan nila yang
dibesarkan pada system kolam dan KJA adalah Provinsi Jawa Barat, sedangkan
untuk system keramba adalah dari Provinsi Jawa Tengah.
Produktivitas suatu ikan budi daya tergantung dari
kondisi yang ada di dalam system budi dayanya, yaitu kondisi lingkungan,
makanan, dan mutu genetic dari ikannya sendiri. Produktivitas nila yang pada
saat ini banyak dibesarkan di kolam, sawah, KJA, dan keramba pada umumnya cukup
tinggi. Banyak pembudidaya yang membudidayakan ikan nila karena dalam hal
lingkungan mempunyai sifat yang tahan (resistant),
sehingga pembudidaya menjadi lebih percaya akan keberhasilannya. Dalam hal
pakan nila secara alami adalah plankton
feeder dan cenderung omnivorous,
sehingga mempunyai rantai makanan yang pendek, sementara dalam hal mutu
genetic, cepat pertumbuhannya. Apalagi dengan adanya system monosex jantan
produktivitasnya masih dapat ditingkatkan sehingga membuat ikan ini selalu
menjadi favorit pembudi daya.
Diperkirakan rata-rata produktivitas umumnya ikan nila di kolam dan sawah
masing-masing 800 dan 300 kg/ha/tahun (Hardjamulia & Wardoyo, 1992).
Sedangkan di KJA dan keramba masing-masing 200 dan 60 kg/m3/tahun
(Ismail & Wardoyo, 1997).
PELUANG PENGEMBANGAN
Mengingat keunggulan sifat ikan nila yang mudah
dibenihkan, mudah dibesarkan baik di air tawar, payau, maupun laut pada
berbagai system budi daya, disamping ukurannya yang besar dan tahan penyakit,
maka potensi untuk pengembangan budi dayanya sungguh besar.
Di
air tawar potensi pembesaran ikan nila di kolamdan sawah sangat tepat terutama
di luar Jawa di daerah pegunungan dimana sumber air yang masih berlimpah dan
kompetisi peruntukan antar sector dan subsektorbelum terlalu ketat, misalnya di
Sumatera Utara, Bengkulu, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan
pengembangan di perairan umum cocok dengan system budi daya Keramba Jaring
Apung (KJA) dan keramba biasa yaitu di provinsi-provinsi di luar Jawa yang
banyak memiliki perairan umum (danau, rawa, perairan bekas galian C dan
sungai), misalnya di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, dan Jambi. Indonesia
memiliki perairan umum terluas di Asia Tenggara, yaitu 13,7 juta ha
dibandingkan dengan Malaysia, Filipina dan Thailand yang masing-masing hanya
0,5; 0,3; dan 4 juta ha. (Sarnita et al.,
2001). Potensi lahan budi daya di perairan umum di Indonesia seluas 141.690 ha
baru dimanfaatkan sekitar 45,5 % (64,469 ha) yang penyebarannya terkonsentrasi
pada beberapa daerah, sehingga mengakibatkan daerah tersebut mempunyai tingkat
pemanfaatan yang berlebihan (Direktur Bina Sumber Hayati, 1993). Pengembangan
nila di perairan bekas galian C yang ditelantarkan di Jawa, dengan system
pengelolaan perikanan berbasis budi daya (Culture-Based
Fisheries) bukan budi daya KJAadalah sangat strategis. Disebut strategis
karena pada umumnya lokasi perairan-perairan tersebut tidak jauh dari daerah
pemukiman, sehingga disamping dapat memberikan peluang kerja bagi masyarakat
kecil sekitarnya. Usaha-usaha budi daya KJA yang umumnya dilakukan oleh pemodal
dari luar daerah juga tidak dapat berkembang. Para pemodal tersebut pada
umumnya hanya bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan
lingkungan perairan.
Pengembangan budi daya ikan dengan system
pengelolaan perikanan berbasis budi daya, yang saat ini banyak menggunakan ikan
nila, merupakan program nasional Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Departemen Kelautan dan Perikanan (Wardoyo et
al., 2004). Sebagai contoh perairan bekas galian pasir di bantaran sungai
Citarum, ruas antara bendungan Curug dan Walahar, Karawang, ada 12 buah dengan
luas total kurang lebih 250 ha. Ke-12 perairan tersebut memiliki kualitas air
yang cocok untuk kehidupan ikan (Wardoyo, et
al., 2003; Wardoyo, 2002; Wardoyo & Pratiwi, 2004). Contoh lain,
Kabupaten Tangerang memiliki potensi lahan budi daya di bekas galian pasir yang
cukup luas hingga mencapai 4.500 ha (Tim Studi, 2000 dalam Wardoyo et al., 2003). Perairan-perairan semacam ini yang
menyebar di seluruh Indonesia pada umumnya ditelantarkan begitu saja tanpa ada
pemanfaatan. Perlu diketahui bahwa pengelolaan perikanan berbasis budi daya
memfokuskan pada penebaran benih dan pemanenan ikan yang dilakukan secara
bersama oleh kelompok masyarakat di sekitar perairan tersebut.
Di air payau ikan nila sangat berpotensi untuk dikembangkan
di tambak-tambak udang intensif yang banyak ditelantarkan, karena nila
mempunyai kemampuan pada air laut. Budi daya udang windu secara intensif di
Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1991-1994. Setelah periode tersebut
jumlah produksi udang budi daya mulai menurun. Hal ini terjadi karena kegagalan
panen akibat penurunan kualitas lingkungan dan merebaknya penyakit, utamanya di
pantai-pantai Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan
dan Kalimantan Barat (Ariyanto, 2004). Disamping tambak-tambak udang intensif
yang ditelantarkan potensi lahan tambak yang ada masih cukup besar. Data di
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyatakan potensi nasional tambak
sebesar 1 juta ha, pemanfaatannya baru 35 % atau seluas 350.000 ha. Sebagai
contoh di Jawa Barat potensi lahan tambak mencapai 96.326,3 ha; baru
dimanfaatkan 58 %nya (Suwidah et al.,
2001). Dengan demikian pengembangan nila di tambak masih sangat memungkinkan.
Di air laut berdasarkan beberapa literatur
pembesaran nila utamanya nila merah masih bisa dilakukan (Suryanti et al., 1991; Suryanti et al., 1993; Hopkin et al., 1985; Watanabe et al., 1989). Bahkan ikan nila masih
mampu melakukan reproduksi di air payau dengan syarat ikan masih muda atau saat
perkawinan sudah diadaptasikan dahulu secara perlahan-lahan ke air payau
(Watanabe et al., 1984 dalam Wardoyo, 1990b;
Wardoyo, 1990a). budi daya pembesaran ikan nila di laut diperkirakan
mencapai 1,9 juta ha. Dari potensi tersebut yang layak untuk budi daya ikan
adalah 369.500 ha. Tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Dari luasan
tersebut dapat dimanfaatkan untuk budi daya ikan sistem KJA seluas 1% atau
3.695 ha (Ramelan, 1998). Apabila produktivitas ikan untuk budi daya sistem KJA
100 kg/m3 (Rachmansyah et al.,
2000), maka dari luasan tersebut akan diperoleh produksi potensial 3.695.000
ton.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Mencermati banyaknya keunggulan ikan nila dan
besarnya potensi lahan untuk budi daya seperti yang telah diuraikan di atas,
maka prospek pengembangan budi daya ikan nila di Indonesia sangat jelas. Akan
tetapi secara teknis maupun sosial ekonomis, masalah-masalah yang masih ada
seperti penyebaran tingkat pemanfaatan perairan umum, pemanfaatan culture-based fisheries (CBF) di Jawa,
dan pemodal besar yang hanya bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya
tanpa memperdulikan lingkungannya harus dipecahkan. Selain itu, perlu
peningkatan penyediaan dan distribusi fasilitas sarana produksi seperti pakan,
pupuk, obat, vaksin, dll. (Anggraeni et
al., 1994). Kebijakan negeri China yang berhasil mengembangkan budi daya
air tawar sistem terpadu dengan peternakan dan pertanian serta sistem perikanan
berbasis budi daya di danau-danau bisa diterapkan di Indonesia (Wardoyo, 1996).
Kebijakan pemerintah untuk mendatangkan
strain-strain baru yang unggul dari luar negeri memang tepat, namun harus
diikuti dengan pengelolaan induk yang terkoordinasi antara pembudi daya dengan
aparat yang berwenang agar tidak terjadi penurunan mutu genetik dan penyebaran
penyakit. Disamping itu perlu dilakukan pembinaan secara intensif dan terus
menerus baik oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Unit Pelaksanaan Teknis
Pusat (UPTP) dan Balai Benih Ikan (BBI) sehingga benih nila yang akan digunakan
oleh masyarakat pembudi daya sudah standar, dijamin asli, unggul dan
bersertifikat.
Meskipun ikan-ikan introduksi ini aslinya sudah
unggul, tetapi karena harus beradaptasi dengan lingkungan di Indonesia sehingga
ada kemungkinan terjadinya penurunan produktivitas, maka riset mengenai ikan
ini masih perlu dilakukan, khususnya dalam bidang pembesaran (grow out).
No comments:
Post a Comment